22 February 2006

Abdul Hadi WM : Hati Orang yang Akrab, Sarang Ma’rifat

Anda dikenal sebagai penulis puisi sufi, sebenarnya apa yang membedakan puisi tersebut dengan puisi-puisi lain?Puisi sufi dicipta untuk menggambarkan hubungan intensif antara manusia dan Tuhan. Manusia adalah aku dan Tuhan adalah Engkau. Terjadi dialog antara aku-Engkau. Jadi dialog itu merupakan gambaran tentang bagaimana jiwa seorang manusia melakukan perjalanan kerohanian dari alam jasmani, alam rendah, ke alam rohani alam yang lebih tinggi. Sehingga mendapat kesadaran yang tinggi yang disebut ma’rifat atau kesatuan mistik.

Saya tidak mendalami puisi tapi kalau diamati, akhir-akhir ini banyak orang muda yang menulis puisi. Menurut pengamatan Anda, apakah mereka ini secara spesifik menggeluti puisi-puisi sufistik seperti yang Anda lakukan?Upaya menulis puisi tidak selamanya jelek dan tidak dapat dianggap jelek dan tidak dapat dipandang negatif. Perjalanan seseorang menuju kesempurnaan dalam hidup selalu ditandai oleh rintangan-rintangan dan perjuangan. Kita melihat sesuatu itu dalam sebuah proses. Sekarang ini ramai berdzikir, bertobat, mungkin ada yang snob atau masih dalam tahap awal. Tapi tidak apa-apa, nanti proses yang akan menentukan hasil yang akan dicapai.

Di tengah arus kehidupan sekarang, apakah masih ada ilham atau tidak untuk bisa mencurahkan, meningkatkan atau mendialogkan antara aku dan Kau?Itu tergantung bagaimana seseorang melihat kehidupan ini. Sebagai beban berat tidak? Karena dunia ini sama saja dari dulu atau sekarang. Bukan orang sekarang saja yang terperangkap dalam kesibukan material, rutinitas, hiruk-pikuk peperangan dan segala macam. Sejak dulu orang begitu tapi selalu ada waktu untuk merenungi dalam kesunyian itu. Manusia ada dua sisi. Pertama, manusia itu adalah makhluk yang solider. Artinya manusia hidup bersama manusia lainnya. Tapi pada saat yang sama, ia adalah makhluk soliter. Sendiri, sebatang kara, tidak ada yang menolong jiwanya kecuali dia sendiri. Ada ruang untuk berkembang dan dikembangkan.

Orang yang tidak mengenal sufi tentu membayangkan sufisme adalah bentuk keberagamaan dengan gerak yang lain. Misalnya, cara wirid yang berbeda. Orang menggambarkan ritual sufi keluar dari aturan yang ada. Apakah menulis puisi sufi juga harus dengan cara seperti itu?Menulis puisi sufi, secara umum prosesnya dimulai dengan melakukan itu termasuk penciptaan puisi, itu kan gejala dari alam jasmani. Dalam pandangan semacam itu, alam jasmani ini mempunyai hubungan, kelanjutan dari alam rohani. Jadi dia punya rintangan untuk pergi dari alam jasmani ke alam rohani. Metode ini bukan metode rasional. Itu metode intuitif. Metode intuitif itu antara lain ibadah, dzikir. Kalau kita menggunakan akal, pikiran, itu untuk memecahkan persoalan-persoalan dunia yang berhubungan dengan manusia dan dunianya. Tapi kalau kita berhadapan dengan Tuhan, kita tidak lagi bisa menggunakan pikiran. Maka metode seperti dzikir itu yang digunakan. Metode perjalanan rohani seperti itu yang disebut jalan cinta. Jalan tempat kita menggunakan seluruh kehendak kita, hasrat kita kepada Yang Satu. Mengerahkan hasrat kita kepada yang satu semata, tanpa memikirkan yang lain.

Anda pernah menerjemahkan juga karya sufi Jalaluddin Rumi. Menerjemahkan sebuah karya bukanlah pekerjaan yang mudah. Mungkin Rumi mengambil jalan yang satu, sementara Anda berada di Indonesia dan mungkin mencoba memahami dengan jalan berbeda. Apa Anda harus mempelajari ritual yang dialami Rumi sehingga Anda dapat menerjemahkan karya itu tanpa kehilangan napasnya?Bukan hanya ritual, tapi juga mempelajari keseluruhan dari tradisi sastra Persia, tradisi sufi, ajaran tasawufnya sendiri. Mempelajari ajaran Rumi dan bagaimana riwayat hidup Rumi. Juga, hal-hal lain seperti kebudayaan Islam Persia pada waktu itu. Saya juga harus mempelajari konsep-konsep ajaran tasawuf karena tasawuf di satu pihak merupakan satu jalan kerohanian. Di lain pihak, tasawuf juga adalah filsafat. Fungsi intuisi harus dibantu penalaran secara rasional. Karena itu dibilang cinta tidak ada gunanya tanpa pengetahuan. Pengetahuan juga tidak ada gunanya di dalam cinta. Itu tersirat di dalam pantun: Temumu dalam temuku/ Terbang melayang selaranya/ Meski ilmu setinggi tegak/ Tidak sembahyang apa gunanya?

Orang yang tidak sembayang pasti punya masalah dengan pantun ini. Cara yang sama Anda lakukan juga ketika memahami karya Hamzah Fansuri? Seorang penulis puisi sufi dari Sumatra Utara?Kali ini lain karena berhadapan dengan penyair yang secara kultural budayanya. Jadi tidak banyak mendapatkan kesulitan, kecuali mempelajari bagaimana sorang penyair sufi menulis karyanya. Seorang penyair sufi itu menulis karyanya sebagai sebuah uraian secara artistik tentang perjalanan kerohanian tarekatnya dari makam yang terendah ke makam yang tertinggi. Itu dalam simbol-simbol saja. Dengan demikian kenikmatan estetik mudah dicapai. Karena itu pengalaman kesufian itu menjadi indah karena disampaikan secara artistik, bukan semata secara ilmu pengetahuan. Karena ilmu pengetahuan itu kering. Itulah yang membuat para sufi berhasil karena dia membawa transformasi Islam di kepulauan Melayu menghadapi pengikut agama Hindu yang menggunakan kesenian. Para sufi juga menggunakan kesenian, dan itu kelebihan mereka dibanding ulama yang lain.

Setelah mendalami beragama, pemikiran dan budaya dari para sufi itu, apa yang Anda dapatkan sebagai seorang penyair dan yang mendalami bidang filsafat?Hidup ini bukan hanya perjalanan jasmani, perjalanan spriritual, dan perjalanan ilmu. Kita menggeluti ilmu yang satu ke ilmu yang lain, dari filsafat yang satu ke filsafat yang lain, disadari atau tidak. Juga, dari pemikiran, kearifan yang satu ke kearifan yang lain, bahkan dari agama yang satu ke agama yang lain. Tujuan saya hanya untuk membuktikan bahwa manusia itu universal. Manusia itu bisa tidak terkungkung dalam golongan, ras, kebangsaan. Saya mempelajari, baik itu kebudayaan Timur maupun kebudayaan Barat. Baik mistisisme Hindu, Islam, maupun Kristen. Hanya sebagai seorang muslim wajib menempatkan lebih tinggi kebudayaan Islam dari kebudayan lainnya. Kalau saya ini orang Kristen, tentu saya akan mendapatkan kebudayaan Kristen lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Itu wajar. Kenapa saya lebih menekankan pada tasawuf? Karena saya seorang muslim. Masa harta sendiri mau dibuang? Pemiliknya bukan hanya orang Persia saja. Ajaran Islam itu bukan untuk bangsa per bangsa, kaum per kaum. Islam itu untuk manusia sejagat. Dengan masuk ke dalam dunia sufi, sebagai seorang Madura, saya merasa jadi manusia universal, tidak terikat lagi pada suku. Inilah keluarbiasaan dari pengembaraan spiritual mengerucut pada suatu kearifan yang universal.

Bagaimana Anda bisa sampai ke suatu pengembaraan rohani semacam ini?Saya banyak mempelajari kesusastraan di sekolah menengah. Mempelajari kesusastraan Melayu, kesusastraan Asia, dan membaca banyak buku. Bahkan buku Al Gazali sudah saya baca sejak SMA. Saya menyukai pengembaraan spiritual semacam itu. Kalau kita hanya mengembara secara jasmani saja, daging ini kan satu badan yang cepat busuk, benda yang cepat busuk. Mendekati pada dunia, mendekati pada kejasmanian terlalu akrab memanjakannya berarti kita mendekati kebusukan dan kematian. Tetapi mendekati yang kekal, jiwa, rohani, mendekati juga kekekalan. Itu esensi ajaran Islam yang saya terima. Saya tertarik dengan ayat Al’quran yang menyebutkan; Kemanapun kamu memandang, kamu akan tatap wajah Tuhan. Sampai sekarang ini menjadi misteri bagi saya. Ayat sederhana semacam itu. Wajah Tuhan kayak apa? Memandang dengan cara bagaimana? Apakah dengan mata ini atau itu? Tapi kalau saya pikir, kalau kita memandang dengan mata jasmani saja, tidak akan pernah melihat. Karena mata itu melihat apa yang tampak dengan mata, satu benda yang ada bentuknya. Kalau memandang secara rohani, kita akan melihat wajah Tuhan. Tentu saja wajah Tuhan adalah wajah rohaninya. Ternyata wajah Tuhan bagi Ibnu Arabi, Al Gazali, dan lain-lain adalah sifat-sifat Tuhan yang mahapengasih dan penyayang yang setiap hari kita sebut saat kita berdoa. Tuhan yang Ar rahman, Ar rahim. Ar rahman adalah cinta Tuhan yang meliputi segala sesuatu yang esensial tanpa pilih kasih. Diberikan pada orang Yahudi, orang Islam, orang Cina, Melayu, Arab, dan yang lain. Sedangkan cinta yang kedua, Ar rahim adalah cinta yang khusus diberikan pada yang betul-betul dikasihi dan dicintai oleh Tuhan. Kepada mereka yang bertakwa.

Cinta adalah hal yang banyak dibicarakan dalam sufisme. Banyak orang menafsirkan cinta, bagi Anda sebagai orang yang menjalani sufisme juga, cinta itu seperti apa? Kata cinta kalau dalam bahasa arab adalah mahabbah. Kata mahabbah itu, ada yang mengatakan, diambil dari kata hub yang artinya kendi. Kendi yang penuh berisi air. Tidak ada tempat bagi isi yang lain. Artinya, cinta itu seperti kendi yang penuh dan tidak ada tempat lain bagi kekasih selain Dia. Hanya pada Yang Satu saja. Tapi sekarang kan orang banyak kendinya, dua, tiga…. (***Sinarharapan)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home