26 February 2006

3 Pendekar, seorang bayi dan 2 orang bodoh

Jum'at malam lalu, menjelang Suro, di rumah kami yang sempit tapi mesra datang 3 tokoh penting dalam dunia wayang edan.

Yang pertama seorang panembahan yang kesaktiannya cukup dikenal belantara karisidenan kuningan hingga ndepok, yang kedua adalah seorang bujang (yang masih sengaja melapukkan dirinya) dari tanah seberang hingga jika meyeberang tak pernah kembali yang ketiga seorang wanita (saya tidak bisa bercerita banyak disini, takut pamornya nanti tersingkap).

Ketiga tokoh tersebut diikuti oleh 2 orang bodoh. yang pertama seorang yang sudah sangat sepuh karena ubannya jauh melebihi usianya, yang kedua saya sendiri (sebetulnya sih ga bodoh-bodoh amat).

Sebetulnya hingga tengah malam kami tidak tahu apa yang diobrolkan semua nya serba fana, maya, tidak ada bentuk. Ada yang membawa pasukan demit, ada yang cuma melihat satu sudut ke sudut lain dengan senyum, ada yang hanya berkomat-kamit dalam hati.

Malam itu jadi semacam pertemuan "budaya". Dalam tanda kutip, karena yang bertemu bukan secara fisik. Seperti datangnya Suro, sebagai bagian dari demistikasi dan alkulturasi budaya Hindu-Budha-Islam. Meski yang berkumpul bukanlah penganut mistisme ronggowarsito tapi pertemuan kemari seperti sebuah jamuan, seperti pertemuan kembali budaya yang tercatat tanggal 8 Juli 1883, dimana Sultan yang berkuasa saat itu mengadakan jamuan besar untuk mengukuhkan adanya sistem penanggalan Suro.

Kami bukan para sultan, tapi kami senang berkumpul, karena berkumpul adalah rahmatan dan fitrah manusia para penempuh jalan yang panjang, Silahturahmi.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home